Monday, August 08, 2016

Surat buat sahabatku


Kepada sahabat,

Katamu, aku telah berhasil meraih impianku untuk kuliah di luar negeri. Terima kasih atas segalanya, kurasa aku harus banyak-banyak bersyukur. Kamu tahu kalau aku ini "calculating type person, but a negative one". Aku ingin bercerita tentang sisi lain kehidupanku disini. Oya, aku pernah cerita kalau kampusku di UNESCO-IHE Delft kan?


Kampusku memiliki mahasiswa dari seluruh penjuru dunia yang terakhir kabarnya ada 57 negara. Aku bertemu dengan manusia eksotik dari berbagai negara bahkan dari negara di pulau yang hampir tidak terlihat di peta. Pernah mendengar negara bernama Samoa? Atau Lesotho yang merupakan negara di dalam negara? Googling deh. Awalnya takut, tidak nyaman, dan segala alasan lain yang diperparah dengan kebiasaan basa-basi ala Indonesia membuatku sulit beradaptasi. Belum lagi kemampuan berbahasa Inggrisku yang pas-pasan dan aksen bahasa mereka yang ajaib didengar.

Sistem pembelajaran di Belanda mengedepankan diskusi dan kerja tim. Bayangkan apa yang terjadi saat aku dipaksa bekerja sama dengan berbagai manusia ini? Sangat sulit, kadang menyenangkan namun seringkali melelahkan lahir dan batin. Masalah bahasa, sudah pasti. Masalah cara kerja dan kepribadian, sangat menantang. Ada tipe mahasiswa yang sangat dominan, ada tipe yang tidak peduli, sementara tipikal mahasiswa Indonesia suka mengalah dan kurang kritis. Kepribadianku sendiri yang ala 'kakak galak' di film-film ini seringkali membuat masalah. Kamu tahu bagaimana aku laaah...

Satu kesamaan kami adalah sama-sama belajar tentang pengelolaan sumber daya air di UNESCO-IHE. Kami semua dari seluruh belahan dunia sedang mengalami krisis air, ada yang kebanjiran dan ada yang kekeringan. Ada yang pulaunya makin habis tenggelam. Ada juga yang sungainya penuh polusi dan sistem pengolahan airnya bermasalah. Negara-negara yang berbagi aliran sungai punya masalah lain, yaitu konflik pembagian debit air dan pembangunan bendungan. Saat itulah, kami biasa bercerita tentang kasus di masing-masing negara asal dan berbagi solusi. Disitu aku menyadari bahwa masalah air di Indonesia masih terbilang mudah asalkan ada kemauan baik untuk memperbaiki dan mengelolanya.

Saat kuceritakan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau dan luasnya hampir sama dengan daratan Eropa, teman-temanku ini tidak ada yang percaya. Lebih tidak percaya lagi saat kuceritakan kalau Indonesia punya beragam bahasa, adat, dan agama. Kutunjukkan pada mereka bahwa aku dan temanku asal Indonesia bisa bercanda santai sementara dia minum bir dan aku minum jus apel. Sama warna, beda rasa.

Temanku dari salah satu negara di Afrika bercerita disana banyak sekali negara yang tidak akur. Bagi yang gagal paham, Afrika adalah benua yang terdiri dari 54 negara yang diakui. Walaupun negaranya bersebelahan, namun bahasa bahkan huruf yang digunakan sangat berbeda dan mereka tidak mengerti bahasa negara tetangga sebelahnya. Ada juga yang bercerita bahwa negaranya tidak benar-benar memiliki adat, hanya peninggalan dari kolonial Inggris. Agama yang mereka miliki juga berbeda-beda dan seringkali menjadi sumber konflik. Ketimpangan ekonomi di bagian Utara, Tengah, dan Selatan Afrika juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri.

Kuliah di Belanda membuatku sadar bagaimana susahnya para pejuang di zaman dahulu untuk menyatukan negara Indonesia yang seperti gabungan dari ratusan bangsa. Mana bisa orang-orang dengan bahasa yang berbeda, adat yang berbeda, agama yang berbeda, dan terpisah oleh gunung, sungai, bahkan lautan bisa bersatu menjadi satu negara. Pantaslah saja negara Indonesia ditakuti di zaman itu dan perlahan dilemahkan dengan rayuan kemudahan ekonomi dan arus budaya negatif. Mungkin kalau aku ada di zaman itu, dengan mudahnya aku akan tertawa menghina dan berkata pada para pejuang, "Tidak mungkin bisa!"

Apalah itu arti Bhinneka Tunggal Ika yang asalnya dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, penganut Budha yang hidup di zaman Majapahit mayoritas Hindu? Kenapa juga pemimpin Indonesia zaman kemerdekaan yang mayoritas Islam menerima istilah ini? Di tengah segala konflik antardaerah dan antaragama sejak zaman kuno sampai sekarang, mimpi kesatuan Indonesia ini masih bergeming. "Berbeda-beda tetapi tetap satu" menjadi arti Bhinneka Tunggal Ika yang wajib dihapalkan sejak masih belia. Walaupun seringkali dituliskan dalam naskah-naskah pidato dan dipajang bersama lambang Garuda Pancasila, tapi impian ini melemah diterjang konflik internal.

Sungguh aku bersyukur dilahirkan di tengah keberagaman. Bangsa Indonesia yang kukenal tidak hanya satu ras, satu bahasa, satu daerah, dan satu agama. Untunglah orang tuaku selalu mengajarkan indahnya pentingnya perbedaan itu dan segala hal negatif bukan berasal dari perbedaan tapi dari kepribadian. Dalam alam bawah sadar tertanam rasa toleransi, yang ini baru kusadari saat teman-temanku dari berbagai negara menyatakan keheranan atas keberagaman Indonesia. Tapi ujian masih panjang, perbedaan kecil selalu berpotensi untuk menjadi konflik kemanusiaan.

Perlu bicara dari hati ke hati tanpa prasangka, selalu cek ulang semua informasi terutama yang beredar di media sosial, dan bebaskan pikiranmu untuk menerima perbedaan. Saat itulah, kamu akan menyadari indahnya warna-warni perbedaan. Seringkali orang Indonesia terlalu mudah memberikan stereotip pada orang lain. Dari kuliahku disini, aku mengenal orang-orang dari berbagai negara yang biasa jadi korban kecaman di Indonesia. Berdasarkan pengamatanku, stereotip ini salah total. Mereka juga mengecam oknum-oknum di negaranya yang berbuat seperti itu. Melabeli suatu negara berdasarkan ulah oknum-oknumnya sangat tidak adil.

Satu hal lagi yang menarik kutemukan saat kuliah di Belanda. Ingat ada beberapa negara yang kita labeli sebagai negara miskin, kurang gizi, dan terbelakang yang penduduknya malas-malas? Salah total. Negara-negara ini sedang berjuang dan orang-orangnya sungguh-sungguh belajar buat negaranya. Di beberapa sisi malah negara-negara ini lebih maju daripada Indonesia. Dan dugaanku kalau Indonesia masih sibuk saling menyalahkan, sebentar lagi negara ini bisa mengungguli Indonesia.

Lama-kelamaan teman-temanku ini pun terbiasa dengan kita. Orang Indonesia terkenal suka tidur cepat dan tidak suka berpesta sampai larut, berbeda dengan orang Amerika Latin. Kita juga tidak terlalu suka disentuh, berbeda dengan budaya Itali. Untuk mencoba makanan Indonesia, seperti uji nyali bagi mereka karena menurut mereka rasanya keterlaluan pedas. Orang Indonesia suka sekali berkumpul dan berbicara bahasa Indonesia sehingga seringkali diprotes oleh mereka yang tidak mengerti bahasa kita. Oya, satu lagi ciri khas kita, orang Indonesia suka sekali difoto dan memotret segala sesuatu yang ditemukan. Hahaha... Selfie dimanapun dan kapanpun jadi ciri khas kita disini.

Ada satu pertanyaan yang mengusikku hingga saat ini. Ada seorang pelajar asal Mongolia di kampusku dan Ia kagum dengan banyaknya jumlah pelajar asal Indonesia di Belanda. Temanku ini pernah bertanya, dengan adanya sekian banyak pelajar Indonesia di Belanda, apakah sudah terjadi perubahan di Indonesia? Dan aku pun tak bisa langsung menjawab. Apa kamu bisa membantuku menjawabnya?

Ah, ini kusertakan juga video buatanku dan teman-temanku sekampus. Selesai dalam waktu sehari hahaha... Terinspirasi dari pertemanan kita selama kuliah disini. Aneh kan, aku yang lebih suka sendiri dan tidak pernah punya banyak teman ini berhasil beradaptasi dan punya keluarga baru disini. Hari ini katanya Friendship Day, jadi aku ingin berbagi banyak denganmu tentang persahabatan dan impian. Betapa perbedaan itu bisa jadi indah kalau impian kita sama.

Dari aku, sahabatmu di Delft

No comments: